Kini kesenjangan sosial khususnya di kota besar seperti Jakarta sudah sangat memprihatinkan.Di Jakarta masih banyak sekali terlihat gelandangan tinggal di kolong jembatan, rumah-rumah gubug di dekat rel kereta api, rumah-rumah di atas kali dan pengemis di jalan-jalan.Sedangkan pembangunan mall besar yang berstandar internasional dan juga apartemen sedang berkembang pesat.
Pernah saya berjalan-jalan ke salah satu mall mewah di bilang Bundaran HI , Thamrin dan ternyata harga-harga di mall mewah tersebut bikin saya tercengang, sepertinya tidak ada krisis di Jakarta. Harga baju, sepatu, tas harganya tidak masuk diakal. Baju biasa saja harganya hampir sama dengan UMR sebulan yaitu sekitar 1 jutaan, ck..ckk.. Kalaupun ada potongan harga, seperti yang kita tahu taktik lama, harga dinaikan dulu baru di diskon. Diskon harga ratusan ribu pun penuh dan orang berdesakan. Yang lebih mahal banyak, harga berjuta-juta begitu tetap saja rame banyak yang beli. Ini terbukti dengan menjamurnya butik-butik milik designer luar negeri.
Padahal seinget saya dulu harga masih kisaran puluhan ribu atau setidaknya ratusan ribu lah. Sekarang ratusan ribu itu ternyata sudah biasa, mainannya sudah jutaan, seperti sepatu Giuseppe Zanotti, tas Hermes, jam tangan Christian Dior atau busana Givenchy yang harganya puluhan - ratusan juta sudah biasa di acara para sosialita. Entah asli atau palsu.. yang penting desainer asing dan gaya!
Jakarta sudah juga dikepung sama mall, jarak 1-2 km ..eh..udah ada mall lagi.Contoh konkretnya adalah di Bundaran HI ada beberapa mall mewah yag saling berdempetan yaitu Plaza Indonesia , eX Plaza dan Grand Indonesia , belum lagi mall lama yang ada disekitar situ seperti Sarinah. hmmm ,,,, ada juga ni dekat kampus kita tercinta yaitu Universitas Gunadarma yang berada di jalan kalimalang yang berdekatan dengan 4 mall sekaligus yaitu Bekasi Cyber Park, Metropolitan Mall , Mega Bekasi dan Bekasi Square , semuanya berjarak tak lebih dari 1 km.Heran, apakah bertambahnya mall-mall ini dibarengi dengan naiknya kemampuan daya beli masyarakat? atau mall tambah banyak, tapi yang beli sih itu-itu juga sebenarnya. Atau mungkin juga karena banyak social climber, jadi berusaha beli barang bermerk mewah untuk masuk ke social circle yang lebih posh?
Sama halnya dengan restoran kelas atas dan kafe-kafe yang semakin menjamur, selalu ramai. Bahkan orang-orang rela mengantri untuk makan di restoran-restoran berkelas. Pertunjukan musik dengan harga tiket ratusan ribu rupiah laris manis bahkan jutaan pun tak pernah sepi pengunjung.
Mungkin ini karena banyak perusahaan kartu kredit, banyak bank menawarkan pinjaman, tuntutan gaya hidup yang begitu tinggi menyebabkan banyak orang terlilit hutang. Tidak heran kalo kriminalitas meningkat, gaya hidup antara si kaya dan miskin sangat timpang sekali, menyeramkan sekaligus menyedihkan :-(
Pembangunan mall-mall lebih pesat dibandingkan pembangunan fasilitas rakyat. Yang kelihatan di depan kita tuh orang-orang pada belanja, belanja, belanja. Saya terus terang prihatin melihat perilaku konsumtif bangsa kita. Masalahnya yang laku adalah produk luar bukan produk dalam negeri. Gampangnya, kita eksport barang kita untung, kita import barang kita rugi. Apa kita mau perekonomian kita dikuasai sama barang import?
Citra diri buat orang indonesia itu sangat penting, sehingga sudah menjadi budaya bahwa barang belanjaan dijadikan simbol status. Beli barang berdasarkan gengsi dan gaya-gayaan saja, bukan fungsi dan kebutuhan lagi. Pemerintah, pengusaha yang bikin mall dan oknum sich senang dengan bertambahnya mall-mall , apalagi mall-mall mewah soalnya jadi banyak pajak yang masuk.
Hal itu juga tampak pada jajaran mobil yg terparkir di restoran kelas atas yg banyak bertaburan di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Di William Cafe misalnya bisa ditemukan menu makanan seharga Rp 350-500 ribu. Bahkan bila ditambah dgn wine bisa merogoh kantong sampai Rp 8 juta. Di kawasan Kemang itu juga Resto Toscana khas Italia menyediakan sajian menu utk dua orang yg cukup fantastis seharga Rp 750.000. Bagi kelompok penikmat hidup seperti ini harga tak lagi menjadi soal krn utk sebotol minuman Chateau Paris bisa dihargai sampai Rp 18 juta sebotol. Mengiringi semua itu tentu saja pakaian yg melekat di tubuh mereka juga harus sepadan harganya. Untuk sepotong busana Armani atau Prada misalnya harus merogoh Rp 2-8 juta. Untuk rancangan lokal Adji Notonegoro saja sepotong busana bisa berharga Rp 2-20 juta. Melengkapi gaya hidup itu tidak lengkap jika tidak melilitkan jam tangan bermerek seperti Bulgary atau Christian Dior yg harganya Rp 12-20 juta sebuah. Bahkan di pusat perbelanjaan Sogo sebuah jam ada yg berharga sampai Rp 500 juta. Tempat kongkow-kongkow kelompok super ini tentu saja tak sembarangan. Biasanya mereka terlihat mengobrol di klub cerutu yg tumbuh pesat akhir-akhir ini di beberapa hotel berbintang. Sebatang cerutu Monte Cristo atau Cohibe harganya mencapai Rp 200.000. Bahkan jenis cerutu kelas atas yg diproduksi Havana Kuba misalnya bisa mencapai US$ 100 per batang. Bagi kalangan ini utk menunjukkan kejantanannya di jalanan motor Harley Davidson atau Ducati yg pusatnya berada di Jalan Fatmawati harganya berkisar Rp 90-250 juta. Dan peminatnya membludak. Dengan gaya hidup seperti ini biaya perilaku yg harus dikeluarkan sedikitnya Rp 5 juta sehari. Artinya penghasilan per bulannya tentu ratusan juta rupiah atau malah ada yg bergaji Rp 2 milyar sebulan. Di balik semua ini tak bisa dibantah terpendam kekayaan puluhan milyar rupiah. Inilah yg dincar petugas pajak utk menambal anggaran belanja negara yg menetapkan pendapatan 74% dari pajak. Diakui Budiman Sirod pajak mobil mewah saja bisa menyumbangkan 15% dari total penerimaan pajak. Jadi kalangan ini memang potensial diburu petugas pajak. Dari kalangan ini salah satu yg diburu termasuk pejabat negara yg “kaya mendadak.” Hal itu tampak pada beberapa anggota DPR yg sebelum pemilu hidupnya biasa-biasa saja tapi tiba-tiba bisa memiliki mobil mewah Lexus misalnya. Ada pula yg dulunya biasa naik bus kota menurut Komisi Penyelidikan Kekayaan Pejabat Negara kini memiliki harta puluhan milyar. Dan ini sudah menjadi rahasia umum. Majalah Forbes menempatkan pengusaha rokok Rachman Halim pemilik Gudang Garam dan Putera Sampurna dalam deretan orang kaya sedunia dgn nilai kekayaan masing-masing US 17 milyar dan US 13 milyar. Bila diteliti lbh jauh Indonesia ditaksir menyimpan kurang lbh 64.000 orang superkaya. Hal itu terlihat dari potensi aset private banking -uang yg dimiliki nasabah secara personal- yg ditaksir sebesar US$ 257 milyar. Angka tertinggi di Asia selain Jepang. Bahkan angka itu mengalahkan Taiwan yg memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Artinya tiap orang superkaya itu memiliki aset US$ 4 juta. Indonesia juga memiliki sekitar 61.000 rumah senilai di atas satu milyar rupiah. Salah satu buktinya terlihat dari kenaikan jumlah deposito yg terkumpul. Bila pada akhir 1997 jumlah deposito pribadi sebesar Rp 569 trilyun tahun berikutnya 1998 naik menjadi Rp 1826 trilyun. Hal itu akibat kebijakan uang ketat yg menggenjot bunga sampai 60% lbh pada waktu itu. Menurut sumber GAMMA ada seorang pensiunan jenderal memiliki simpanan sampai US$ 30 juta di Amerika Serikat. Artinya dari bunganya saja sebesar 5% per tahun ia bisa menghasilkan US$ 15 juta. Puluhan kali lipat dari gaji seorang presiden di AS. Wauw bukan main.
Ironis sekali di sekitar mall-mall yang mewah, gedung pencakar langit dan apartemen menjulang tinggi yang berdiri, ada banyak perkampungan kumuh, sudah semestinya Pemda Jakarta peka terhadap masalah seperti ini. Bangun taman-taman kota yang ramah lingkungan sehingga kita bisa menghirup udara bersih.
Orang tua banyak yang "rekreasi" dengan anak-anaknya di mall saat akhir pekan, ini dikarenakan kurang tersedianya taman-taman kota. Kalau pun adabanyak taman kota yang terlantar. Bukankah lebih baik menghabiskan waktu bersama keluarga di taman, rekreasi sekaligus mendidik anak dengan cara mengajarkan anak tentang keindahan alam, mensyukuri indahnya karunia yang telah Allah berikan, dan mengajarkan anak tanggung jawab memelihara kebersihan taman.
Selain itu taman-taman kota seperti yg kita ketahui, berfungsi sebagai daerah resapan air untuk mencegah bencana banjir. Tata kota Jakarta sepertinya tidak seimbang, kawasan komersial semakin melebar dan pemukiman penduduk serta ruang terbuka hijau semakin tergusur.
Semakin menjamurnya pusat perbelanjaan mewah ini juga membuat jurang kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin besar. Yang dibutuhkan oleh Jakarta bukan mall lagi tapi perbanyak sarana umum salah satu contohnya taman kota yang ramah lingkungan dimana si kaya dan si miskin bisa membaur menjadi satu sehinga bisa sama-sama menikmati.
Tulisan ini saya buat dengan mengkombinasikan pikiran saya sendiri dengan artikel yang saya baca yaitu http://widasarisaraswati.blogspot.com/2010/08/kesenjangan-sosial-semakin.html dan http://blog.re.or.id/kesenjangan-sosial-makin-memprihatinkan.htm